Wednesday, 23 March 2011

Africa United Film Yang Menggugah Inspirasi

BERBEKAL MIMPI DAN BOLA DARI KONDOM MENCAPAI AJANG PIALA PIALA DUNIA

Africa United mengambil latar belakang sepak bola dengan mengambil momen euforia Piala Dunia yang dihelat di Afrika Selatan tahun lalu.

Namun pesta sepak bola empat tahunan itu bukanlah fokus dari film garapan Debs Gardner-Paterson, sineas asal Inggris ini. Event Piala Dunia hanya digunakan sebagai plot device belaka. Lewat mata dan tingkah laku anak-anak, penonton diajarkan tentang persahabatan dan persaudaraan,
iman, persatuan dan kesatuan, team work, passion, perjuangan dan usaha keras dalam mewujudkan impian serta harapan.  

Dudu Kayenzi, remaja miskin dan yatim piatu berusia 13 tahun asal Rwanda. Dia selalu mengenakan seragam Fernando Torres saat masih merumput bersama skuad Liverpool, Inggris dilengkai dengan jas lusuh. Dia adalah seorang gila bola yang sangat bersemangat bila menyangkut persepakbolaan atau mungkin sok tahu.

Dudu bersahabat karib dengan Fabrice Kabera, anak bertubuh jangkung dari keluarga kaya dan memiliki bakat sepak bola dan bermimpi menjadi pesepakbola legendaris. Phillipe Baku, seorang pencari bakat dan panitia lokal Piala Dunia melihat aksi Fabrice saat sedang memecahkan rekor lokal menendang bola non-stop
sebanyak 502 kali tendangan. 

Menyaksikan remaja itu memiliki bakat bagus, Fabrice ditawari audisi menjadi salah satu Anak Pendamping pada seremoni pembukaan. Dengan kocaknya, Dudu berlagak bagai Arsene Wenger dan memproklamirkan diri sebagai manajer Fabrice lalu menyetujui bahwa mereka akan hadir saat audisi dua hari lagi di Kigali, ibu kota Rwanda. Bersama adik perempuan Dudu, Beatrice, mereka bertiga nekat berangkat menyelinap ke dalam bus.  

Karena ke-sok tahuan Dudu, mereka salah naik bus dan tersasar ke Kinshasa, Kongo. Mereka pun tak mungkin mengejar audisi yang telah terlambat. Namun, semangat mereka tak pupus. Dudu menyakinkan Fabrice untuk langsung menuju Afrika Selatan dan dengan yakin berkata, “Impossible is nothing. Di kamp pengungsi PBB, mereka bertemu dengan Foreman George, seorang tentara anak-anak yang desersi dari kelompok pemberontak. George pun bergabung dengan mereka ketika kabur dari kejaran tentara pemberontak dengan membawa kabur sejumlah uang pecahan dolar Amerika. 

Africa United ini mendapat anggota tambahan saat bertemu dengan Celeste, gadis pelayan sekaligus tuna susila yang bekerja di resor pinggir pantai di Tanzania. Celeste membantu mereka kabur dari pemilik resor yang selama ini memperbudaknya.

Ketegangan memuncak saat tentara pemberontak berhasil menangkap mereka di sebuah warung dan terjadi kekerasan, akhirnya mereka berhasil lolos walaupun uang yang dibawa George harus diserahkan kepada para pemberontak.  Petualangan mereka berlanjut ke Zambia lalu Zimbabwe. Saat beristirahat, Dudu pingsan dan sakit parah. Di rumah sakit, diagnosa dokter mengejutkan grup itu, Dudu terjangkit HIV dan selama ini ia menyembunyikan hasil tes saat di Zambia hanya agar dirinya tidak menghambat perjalanan mereka.

Setelah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan sejauh 3000 mil atau kurang lebih 4.828 kilo meter melewati hutan belantara, sungai, danau, gunung dan lembah serta menembus tujuh negara tanpa sepatu, bekal dan paspor ... 

Africa United berhasil mencapai perbatasan Afrika Selatan. Masalah belum selesai, mereka tertangkap basah sebagai pendatang ilegal dan tidak diijinkan masuk wilayah hukum Afrika Selatan.  Bola dari kondom karya Dudu yang dibungkus plastik dan dirajut dengan tali rafia dirampas tentara penjaga perbatasan, dipermainkan oleh tentara dan petugas imigrasi, Fabrice tidak terima dan langsung menerjang masuk dan mengecoh mereka dengan kehebatan dan kelincahannya mempermainkan bola. Alhasil Africa United “memenangkan” pertandingan melawan tentara dan petugas imigrasi. Sebagai hadiah mereka diijinkan masuk ke perbatasan dan diantar dengan mobil polisi sampai ke stadion Soccer City tempat upacara pembukaan Piala Dunia 2010. 

Disitulah akhirnya Fabrice tampil ke tengah stadion bersama-sama anak-anak dari seluruh benua Afrika lainnya yang sudah lulus audisi untuk menjadi pendamping di upacara pembukaan, dengan tetap memegang bola “kondom” karya Dudu sahabatnya. Airmata bahagia mengiringi keberhasilan ini dan Dudu yang lucu, selalu optimis dan penuh semangat menghembuskan nafas terakhirnya karena HIV/AIDS. 

Africa United menjadi film pertama yang melakukan syuting di negara-negara rawan konflik seperti Rwanda, Burundi, Kongo, Zambia, atau Zimbabwe, film ini juga mengangkat sisi lain lain Afrika yang unik dan menawan. Menguak wajah Afrika yang ceria dan optimistis.

Africa United bisa disetarakan sebagai Slumdog Millionaire dari Afrika. Namun, bila Film Terbaik Oscar 2009 garapan Danny Boyle itu terlalu mengeksploitasi kemiskinan di India,
Africa United tetap menjaga agar film ini tetap pada level tontonan keluarga.

Isu-isu serius yang diangkat seperti masalah penularan HIV/AIDS, kemiskinan, konflik perang saudara, perekrutan tentara anak, krisis ekonomi dan eksploitasi perbudakan serta seks, tetap diredam dan ditempatkan sesuai sebagai porsinya.  


Tokoh Dudu tetap memberi semangat kepada Fabrice yang kurang percaya diri dan terkungkung oleh pemaksaan keinginan ibunya, sama seperti tokoh Heri yang cacat di film Garuda Di Dadaku, tapi tetap memberikan dukungan dan dorongan kepada tokoh Bayu yang ditentang oleh Ikranegara sebagai Pak Usman, Kakek Bayu. Kedua fi lm juga menyuguhkan komedi dan drama yang ditampilkan lewat dialog sindiran dengan timing yang sesuai.

Usaha agar film ini tetap berada dalam level tontonan keluarga juga terlihat pada segmen dongeng dalam gaya animasi stopmotion dari kertas/lilin yang diceritakan Dudu secara berse
ling. Secara keseluruhan, sebagaimana Garuda di Dadaku dan A Barefoot Dream produksi Korea Selatan, Africa United berhasil memberikan sebuah kisah inspiratif yang menggugah, memberi gambaran contoh keteladanan bagi anak-anak, iman di tengah kesulitan, pengharapan kepada Tuhan di tengah penderitaan, optimisme dalam kehidupan, untuk mengejar mimpi dan berusaha mewujudkannya.  

Selain itu, film ini juga menyadarkan penonton dewasa akan mirisnya keadaan sosial dan gelapnya masa depan bagi anak-anak tersebut bila tidak ada tindakan untuk mengubahnya. Andai saja para elite khususnya pengurus sepakbola negeri ini yang sedang ribut memperebutkan ‘kedudukan’, rasanya mimpi sepak bola Indonesia semakin maju dan profesional bisa terwujud. “Make Football, Not Politics and Corruption!”

No comments:

Post a Comment

 

blogger templates | Make Money Online